Jumat, 13 November 2009

PROPOSAL

PROPOSAL

PENGARUH UMPAN BALIK EVALUASI FORMATIF DAN KEPRIBADIAN SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA

(Studi Eksperimen pada Siswa SMA Negeri di Kota Makassar)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, tidak terlepas dari peran matematika. Oleh karena itu Russel dalam Bell (1978:23) menyatakan “ Mathematics is the queen and serves of the sciences”

Peran matematika dalam memacu perkembangan ilmu pengetahuan itu terlihat dengan adanya penemuan-penemuan baru di bidang kedokteran, biologi, matematis. Mengingat matematika mempunyai andil yang cukup besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah Indonesia memasukkan matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan, termasuk Sekolah Menengah Atas (SMA ).

Dalam kurikulum SMA tahun 1994, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang memuat empat wawasan besar yakni Aritmatika, Aljabar, Geometri, dan Kalkulus. Keempat wawasan tersebut, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang saling terkait dan saling mendukung satu sama lain yang perlu dipahami dan dikuasai secara mendalam. Selain itu, matematika merupakan ilmu pengetahuan terstruktur dan terorganisir yang sangat ketat dengan kehirarkhiannya serta pembuktiannya dapat diterima secara deduktif. Oleh karena itu dalam mempelajari matematika harus mengikuti tata aturan dan tata urutan yakni mulai dari hal-hal yang bersifat konkrit menuju ke hal yang abstrak , dari yang mudah menuju ke hal yang kompleks. Keteraturan dan keterurutan tersebut, menuntut kemampuan guru untuk : (1) mendesain perencanaan pembelajaran yang baik, (2) memilih strategi , metode, dan pendekatan, media yang tepat, (3) menguasai dan memahami materi yang diajarkan , (4) mampu menerapkan strategi pembelajaran yang lebih menekankan ilearning actvity dari pada learning receptivity, lebih berorientasi pada student centre dari pada teacher centre, serta (5) mampu menyusun, menggunakan dan menganalisis alat evaluasi.

Untuk mengantisipasi hal ini, maka dalam pembelajaran diharapkan guru mampu : (1) menjembatani pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimiliki siswa, (2) memperbaiki kesalahan konsep , (3) memotivasi siswa untuk berfikir kreatif, kritis, analitis, dan sistematis dalam memecahkan persoalan matematika.Dengan cara ini diharapkan akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika dan pada akhirnya akan meningkat pula hasil belajar matematikanya.

Kualitas hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika sangat diharapkan oleh semua pihak , tetapi kenyataan belum menggembirakan . Hal ini ditunjukkan oleh hasil studi The Third International Mathematics and Science Study Repeat yang menyatakan bahwa kemampuan siswa Indonesia terhadap matematika , hanya menempati urutan ke 34 dari 38 negara yang disurvey. Demikian pula hasil studi “ Program For Internasional Student Assessment “ menyatakan bahwa penguasaan siswa Indonesia pada bidang studi matematika hanya menduduki peringkat ke 39 dari 41 negara yang disurvey.

Rendahnya kualitas hasil belajar matematika, memberikan indikasi bahwa proses pembelajaran matematika belum dilaksanakan secara optimal . Kekurangoptimalan proses pembelajaran tersebut, ditunjukkan oleh hasil studi dan eksplorasi penulis di beberapa sekolah , menyatakan bahwa sebagian siswa : (1) kurang memahami konsep-konsep prasyarat , sehingga kurang merespon terhadap materi pelajaran yang diberikan , (2) kurang siap dan disiplin dalam menyelesaikan soal-soal latihan dan tugas pekerjaan rumah (PR) ,(3) kurang motivasi dan gairah dalam belajar. Di sisi lain, terdapat keluhan siswa bahwa cara mengajar guru cenderung mengejar target capaian materi, tanpa mengecek apakah siswa telah memahami materi yang disajikan.

Guru lebih banyak mendominasi pembelajaran , sehingga terkesan (1) learning receptivity lebih menonjol dari pada learning activity , (2) teacher center lebih menonjol dari pada student center . Selain itu, hasil tes formatif atau pekerjaan rumah, seringkali tidak dikembalikan. Jika dikembalikan, seringkali siswa hanya mendapatkan paraf dan skor pada jawaban benar dan coretan merah pada butir yang salah, tanpa disertai koreksi terhadap kesalahan tersebut.

Koreksi emacam ini kurang informative, dan komunikatif, sehingga kurang memberikan motivasi kepada siswa untuk memperbaikinya. Ketidakjelasan informasi tersebut, mengakibatkan kesalahan konsep yang berkepanjangan dan pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya hasil belajar matematika pada siswa. Untuk mengantisipasi kekurang-pahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika dan kesalahan konsep yang berkepanjangan, maka perlu dilakukan evaluasi formatif secara berkelanjutan. Melalui evaluasi formatif, guru akan memproleh informasi bagian mana materi yang belum dihami siswa, dan aspek-aspek mana dari program pembelajaran yang kurang efektif.

Mengatasi kekurangpahaman siswa dalam matematika serta kurang efektif dan efesiennya pembelajaran yang diberikan guru, maka perlu dilakukan atau diambil tindakan sebagai solusi yakni dengan memberika “umpan balik” (feedback) terhadap hasil evaluasi formatif. Melalui umpan balik dapat diverifikasi dan dielaborasi item-item yang spesifik berdasarkan identifikasi kesalahan secara umum, serta melibatkan siswa secara bersama-sama untuk memperbaikinya. Umpan balik dapat pula dilakukan dengan cara membegikan hasil koreksi yang disertai petunjuk untuk dibahas dan dikaji secara kelompok atau individual.

Melalui kelompok, siswa memiliki peluang untuk saling bertany, saling member pendapat, saling mengoreksi kesalahan, dan dapat atau saling bekerjasama, sedangkan melalui umpan balik individual, siswa secara mandiri menelaah dan mengkaji hasil koreksi kesalahan. Pemberian umpan balik evaluasi formatif baik secara kelompok maupun secara individual akan efektif dan efesien, apabila dalam pelaksanaannya memperhatikan karakteristik siswa, serti tipe kepribadian extrovert dan introvert. Kedua tipe kepribadian tersebut, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, untuk meningkatkan hasil belajar matematika sangat tergantung pada ketepatan guru memili umpan balik mana yang relevan dengan tipe kepribadian siswa.

B. Pembatasan Masalah

Permasalah dalam penelitian ini dibatasi pada : Pertama Model umpan balik evaluasi formatif yang digunakan dalam penelitia ini terdiri atas dua yaiyu: Umpan balik evaluasi formatif secara kelompok, dan umpan balik evaluasi formatif secara individual. Kedua Tipe kepribadian siswa yang sangan menentukan, karena memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun tipe kepribadian yang dimaksud yaitu: Kepribadian extrovert, dan kepribadian introvert. Ketida Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitia ini adalah kemampuan yang dimiliki siswa pada rana kognitif sebagai hasil proses pembelajara matematika selama satu semester.

C. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi masalah penelitian yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual?

2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki kepribadian extrovert dengan siswa yang memiliki kepribadiaan introvert?

3. Khusus pada kelompok siswa yang memiliki kepribadiaan extrovert, apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual?

4. Khusus pada kelompok siswa yang memiliki kepribadian introvert, apakah terdapat perbedaan hasil belajar matematiaka antara siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual?

5. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara umpan balik evaluasi formatif dan tipe kepribadian siswa terhadap hasil belajar matematika?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual.

2. perbedaan hasil belajar matematika antara siswa yang memiliki kepribadian extrovert dengan siswa yang memiliki kepribadiaan introvert.

3. perbedaan hasil belajar matematika pada kelompok siswa yang memiliki kepribadiaan extrovert, yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual.

4. perbedaan hasil belajar matematika pada kelompok siswa yang memiliki kepribadian introvert, yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dengan siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif secara individual.

5. pengaruh interaksi antara umpan balik evaluasi formatif dan tipe kepribadian siswa terhadap hasil belajar matematika.

BAB II

KAJIAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Hakikat Hasil Belajar Matematika

1. Pengertian Belajar

Dikalangan ahli psikologi terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar. Hal ini disebabkan karena perbuatan belajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Menurut Mkmun (2004:157) belajar adalah suatu proses perubahan prilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktis atau pengalaman tertentu. Pendapat lain dikemukakan oleh Barbara (1994:12) yang menyatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif permanen dalam diri seseorang mengenai pengetahuan atau sikap karena adanya pengalaman. Sedangkan oleh Wenkel (2004:59) yang dikatakan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsungdalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan nilai sikap.

Dari tiga definisi belajar yang telah dikemukakan di atas ternyata ada satu unsure yang selalu terdapat atau terkandung dalam setiap definisi yaitu perubahan tingkah laku. Tampaknya sudah menjadi persesuaian umum apabila perbuatan belajar selalu mengandung semacam perubahan tingkah laku dalam diri individu yang melakukan kegiatan belajar. Menurut Kimble dan Garmezy dalam Ali (2000:14) bahwa sifat perubahan prilaku sebagai akibat perbuatan belajar adalah relative permanen. Dikatan relative karena perbuatan yang terjadi sbagai akibat belajar menurut Wenkel (2004:57), memiliki kemungkinan untuk ditiadakan atau dihapus dan diganti dengan hasil yang baru bahkan ada kemungkinan pula suatu hasil belajar terlupakan.

Slameto (2003;3-5) mengidentifikasi beberapa cirri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar sebagai berikut: (1) Perubahan tersebut terjadi secara sadar. Artinya seseorang yang belajarakan menyadari ter jadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi suatu perubahan dalam dirinya. (2) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional. Artinya perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secar berkesinambungan atau tidak statis. (3) Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Artinya perubahan-perubahan tersebut senantiasa bertambah dan tertuju untuk memproleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. (4) Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. Artinya perubahan tingkah laku itu terjadi karena adanya tujuan yang akan dicapai. (5) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Artinya jika seseorang belajar sesuatu sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya.

Irawan dkk (1997:2) menjelaskan bahwa menurut pandangan behaviorisme, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Hubungan antara stimulus dan respon , E.L. Thorndike dalam Sardiman A.M. (2000:34) merumuskan beberapa prinsip atau hukum antara lain “Law of exercise” atau huku latihan. Berdasarkan hokum tersebut hubungan abtara stimulus dengan respon akan bertambah erat jika sering dilatih, diulangi, atau dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika jarang atau tidak pernah dilatih, diulangi, atau digunakan.

Berbeda dengan pandangan teori belajar behaviorisme, bagi penganut teori belajar kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Jadi belajar ditekankan tidak sekedar melihat hubungan antara stimulus dan respon bahkan lebih dari itu, yaitu lebih menekankan pada proses-proses inyelektual yang kompleks seperti, pikiran, pemahaman, dan pemecahan masalah.

2. Hasil Belajar Matematika

Ernes (1991:3) menyatakan, bahwa matematika timbul dan berakar dari pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Sedangkan Bell menyatakan, bahwa matematika memuat empat wawasan besar, yakni aritmeteka, aljabar, geometri, dan analisis. Matematika adalah ilmu tentang strukturyang bersifat deduktif dan aksiomatik, akurat, abstrak, ketat, dan semacamnya. Russel dalam Bell (1978:260) menyatakan bahwa “ Mathe-matics is the queen and serves of the sciences” matematika adalah ratu dan pelayan ilmu-ilmu lain.

Pendapat di atas menyatakan, bahwa matematika tidak bergantung kepada bidang ilmu lain . Matematika adalah ilmu pengetahuan tentang struktur yang terorganisasikan yang didasarkan pada unsur-unsur yang tak terdefinisi, terdefinisi, aksioma atau postulat dan dapat diturunkan menjadi teorema atau dalil yang pembuktiannya dapat diterima secara deduktif. Delvin menyatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola (2000:6-7). Artinya, bahwa teorema-teorema yang telah diterima pembuktiannya secara deduktif merupakan pola yang dapat digunakan secara umum dan proses pembuktiannya secara terurut mengikuti aturan-aturan sesuai rangkaian konsep dalam matematika. Rangkaian konsep dalam matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan-bilangan, operasi serta sifat-sifatnya, tetapi juga berhubungan dengan ruang sebagai sasarannya .Konsep-konsep matematika tidak hanya menyelusuri permasalahan dalam bidang dan ruang, tetapi juga terapannya dalam ilmu-ilmu lain seperti fisika, kimia, dan ekonomi.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa:(1) matematika adalah ilmu pengetahuan tentang struktur yang terorganisir;(2) matematika adalah ilmu deduktif; (3) matematika adalah ilmu tentang pola dan hubungan; (4) matematika mencakup empat wawasan besar, yakni aritmatika, aljabar, geometrid an analisis; (5) matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah secara cermat, jelas, akurat, dan refresentasinya dengan simbol yang padat; (6) matematika adalah ilmu tentang logika; dan (7) matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang serta operasinya. Di dalam matematika terdapat empat obyek yang harus dipelajari yakni fakta, konsep, prinsip, dan prosedur (Bell, 1978:108). Fakta adalah idea atau gagasan sederhana yang dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol matematika (Bell, 1978:190), dan merupakan bentuk sederhana dari konsep (Higgins, 1973:190). Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan siswa mengelompokkan benda-benda atau obyek dan menentukannya sebagai contoh atau bukan contoh (Bell, 1978:108) . Prinsip adalah kemampuan dalam memandang obyek sebagai kumpulan konsep-konsep yang saling berhubungan, dimana setiap prinsip melibatkan beberapa konsep serta hubungan antar konsep (Higgins, 1973:193). Prosedur adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan langkah-langkah penyelesaian yang tepat, cermat dan benar dalam menyelesaikan tugas sesuai tujuan hasil belajar (Romiszowski, 1986:51). Keempat obyek tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh mewarnai matematika, termasuk materi pelajaran matematika kelas I yang diajarkan di sekolah lanjutan tingkat atas. Keempat obyek tersebut, menuntut kemampuan guru untuk melihat secara jeli fakta apa yang terdapat dalam soal, konsep-konsep apa yang terkandung di dalamnya, prinsip atau aturan apa digunakan, serta bagaimana prosedur memecahkannya. Selain itu guru dituntut kemampuan profesionalnya untuk mempersiapkan dan melaksanakan pembelajaran sesuai materi dan tingkat kesiapan intelektual anak.

Jika kemampuan-kemampuan tersebut di atas, dimiliki oleh setiap guru, maka dapat diprediksi kegiatan pembelajaran akan berjalan lancar, komunikatif dan kondusif, sehingga memberi peluang besar tercapainya tujuan pembelajaran dan pada akhirnya akan tercapai pula hasil belajar yang diharapkan. Dick and Reiser ( 1988: 11), Gronlund ( 1993: 20) menyatakan bahwa hasil belajar adalah sejumlah kemampuan yang dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan pembelajaran. Pendapat Dick and Reiser diperkuat oleh Gagne ( 1975: 50) yang menyatakan bahwa hasil belajar adalah kapabilitas atau kemampuan yang diperoleh dari hasil belajar. Kemampuan-kemampuan yang merupakan wujud dari hasil belajar itu dikelompokkan ke dalam lima kategori, yakni: (1) informasi verbal, (2) keterampilan intelektual, (3) strategi kogntif, (4) sikap, dan (5) keterampilan motorik. Selain Gagne, Bloom (1979: 7) menyatakan bahwa kemampuan sebagaii wujud hasil belajar dapat dipantau melalui tiga kawasan, yakni: (1) cognitive domain, (2) affective domain, dan (3) psychomotor domain. Lebih lanjut Bloom menyatakan bahwa Cognitive domain terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Gronlund (1993:3) membagi hasil belajar pada kawasan kognitif ke dalam dua bagian besar, yakni: (1) pengetahuan, dan (2) kemampuan intelektual dan keterampilan selanjutnya kedua bagian tersebut dibagi kedalam enam sub bagian sebagai berikut: (1) pengetahuan berkenaan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari, (2) pemahaman, berkenaan dengan kemampuan memahami arti dari materi yang dipelajari, (3) penerapan berkenaan dengan kemampuan menggunakan informasi pada situasi nyata, (4) analisis, berkenaan dengan kemampuan menguraikan materi menjadi beberapa bagian, (5) sintesis, berkenaan dengan kemampuan mengumpulkan atau menyatuhkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh, dan (6) evaluasi, berkenaan dengan kemampuan member penilaian pada sesuatu hal dengan menggunakan kreteria tertentu. Selain itu Merril dalam Reigeluth (1999:281) menyatakan bahwa hasil belajar dapat diukur melalui dua demensi yakni: (1) tingkat unjuk kerja dengan indikatornya adalah mengingat, memahami, menggunakan dan menemukan, dan (2) tipe bidang studi dengan indikatornya adalah fakta, konsep, prosedur, dan prinsip.

Secara khusus Higgins (1973:49) dengan taksonominya mengklasifikasi kemampuan matematika ke dalam empat kategori yakni: (1) kemampuan untuk menghitung (computation), (2) kemampuan memahami ( comprehention), (3) kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang meliputi kemampuan aplikasi, analisis, dan sintesis, serta (4) kemampuan menghasilkan (production).

Memperhatikan beberapa pendapat tentang matematika dan hasil belajar di atas, maka pada hakikatnya hasil belajar matematika adalah sejumlah kemampuan yang diproleh dan dimiliki siswa setelah melalui proses pembelajaran matematika pada kurun waktu tertentu.

Dalam kaitannya dengan matematika Kelas I Caturwulan 3, maka kemampuan-kemampuan yang diharapkan melalui tes hasil belajar itu berupa: (1) kemampuan factual, yaitu kemampuan mengetahui dan mengingat fakta berupa; simbol, istilah, definisi yang berkaitan dengan : (a) pengertian, notasi dan ordo matriks, kesamaan dua matriks, penjumlahan dan pengurangan matriks, perkalian matriks, invers matriks dan pemakaian matriks; (b) barisan, deret dan notasi sigma, barisan dan deret berhingga, barisan dan deret aritmatika, barisan dan deret geometri; (2) kemampuan konseptual, yakni kemampuan memahami makna atau arti setiap ide, konsep, prinsip yang terkandung dalam: (a) pengertian, notasi dan ordo matriks, kesamaan dua matriks, penjumlahan dan pengurangan matriks, perkalian matriks, invers matriks, dan pemakaian matriks; (b) barisan, deret dan notasi sigma, barisan dan deret berhingga, barisan dan deret aritmatika, barisan dan deret geometri; (3) kemampuan memecahkan masalah, yakni kemampuan mengaplikasikan, menganalisis dan mensintesis konsep-konsep: (a) notasi dan ordo matriks, kesamaan dua matriks, penjumlahan dan pengurangan matriks, perkalian matriks, invers matriks, dan pemakaian matriks; (b) barisan, deret dan notasi sigma, barisan dan deret berhingga, barisan dan deret aritmetika, barisan dan deret geometri, serta deret geometri tak hingga; dan (4) kemampuan mengevaluasi, yakni kemampuan memberikan kreteria, menyimpulkan dan memberikan suatu keputusan terhadap hasil pemecahan yang berkaitan dengan: (a) notasi dan ordo matriks, kesamaan dua matriks, penjumlahan dan pengurangan matriks, perkalian matriks, invers matriks, dan pemakaian matriks; (b) barisan, deret dan notasi sigma, barisan dan deret berhingga, barisan dan deret aritmetika, barisan dan deret geometri, serta deret geometri tak hingga.

Keenam kemampuan di atas, merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan saling mendukung antara satu dengan lainnya yang harus dimiliki siswa. Jika keenam kemampuan diatas dilakukan secara kontinu oleh siswa, maka dapat dijamin siswa tersebut menguasai materi pelajaran dengan baik dan pada akhirnya akan memberikan hasil belajar yang maksimal.

B. Hakikat Umpan Balik Evaluasi Formatif

Menurut Gagne (1977:3) evaluasi dalam pembelajaran berfungsi sebagai formatif dan sumatif. Sebagai formatif evaluasi berfungsi untuk mengetahui sejauhmana penguasan siswa terhadap materi yang telah diajarkan, serta sejauhmana efektivitas program pembelajaran yang telah dilaksanakan guru.

Hopkins (1990:60-63) menyatakan bahwa evaluasi formatif diberikan untuk skala kecil dspesifik dalam usaha mendapatkan umpan balik untuk pembelajaran berikutnya. Selain itu, Tessmer (1995:11) menyatakan bahwa evaluasi formatif dijadikan dasar untuk memproleh umpan balik yang tepat serta dijadikan dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran yang lebih baik, efektif dan menarik.

Memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi formatif bagi siswa berfungsi memperbaiki materi mana yang belum dipahami dan dikuasai, kesulitan dan kelemahan apa yang dirasakan sehingga diharapkan siswa dapat belajar lebih baik, sedangkan bagi guru berfungsi memperbaiki program pembelajaran, (Black and William’s , 1999:3)

Dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, pemberian evaluasi formatif sangat dibutuhkan untuk mengetahui sejauhmana pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip, dan prosudur yang digunakan. Dengan informasi tersebut guru segera memperbaiki dan mengadakan umpan balik terhadap materi yang kurang dipahami, sehingga memasuki materi lanjutan tidak mengalami hambatan.

Cole and Chan ( 1994:215) menyatakan umpan balik adalah informasi yang diberikan kepada individu atas aksinya atau aktifitasnya yang berbentuk skor dari suatu hasil ujian, komentar dalam tugas, dan jawaban atas pertanyaan. Sales (1993:159) menyatakan bahwa umpan balik dapat memberikan gambaran informasi yang akurat tentang respon siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan di i dalam pembelajaran.

Slavin (1988:543-544) menyatakan umpan balik evaluasi formatif berfungsi sebagai informasi tentang: (1) kemajuan dan penguasaan siswa terhadap pelajaran yang diberikan, (2) sejauh mana efektivitas dan efesiensi strategi pembelajaran yang diberikan, dan (3) kemajuan putranya dalam pembelajaran, sehingga orang tua dapat membantu putranya. Dalam nada lain Tessmer (1995:11) menyatakan bahwa umpan balik bagi guru berfungsi untuk mengoreksi bahan dan proses pengajarannya, serta memonitor kemajuan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.

Kulhavy dan Stock menyatakan umpan balik menjadi efektif, apabila dilakukan verfikasi dan elaborasi (http://www.Cci.Unl.edu/Edit/MB/Mason Bruning.html 2002 ). Verifikasi adalah pertimbangan sederhana apakah jawaban siswa sudah benar atau salah, sedangkan elaborasi adalah komponen informasii yang disediakan untuk memandu siswa ke arah suatu jawaban benar. Oleh karena itu umpan terhadap siswa diperlukan sebagai suatu koreksi internal, (Gagne, 1979 :62-63 ) dan merupakan satu komponen yang sangat penting dalam pembelajaran ( Dick and Carey, 1990:168 ).

Dengan demikian, umpan balik bagi siswa berfungsi memperbaiki dan meningkatkan hasil belajarnya, sedangkan bagi guru umpan balik berfungsi memperbaiki proses atau program pengajarannya. Selain itu Good and Brophy (1990:124) menyatakan bahwa umpan balik kepada siswa merupakan bahan informasi tentang proses dan hasil belajar yang dicapainya.

Pemberian umpan balik dapat dilakukan dengan diskusi atau wawancara, klasikal, kelompok atau individual, segera atau tertunda. Keefektifan pemberian kedua umpan balik tersebut, sangat tergantung pada karakteristik siswa yang menjadi obyek perlakuan.

Dalam kaitannya dengan karakteristik tersebut, maka akan dipilih penyajian umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dan individual.

C. Umpan Balik Evaluasi Formatif Kelompok

Umpan balik merupakan penyajian sekunder yang berfungsi mengelaborasi penyajian primer, agar siswa lebih terbantu dalam menerima dan merespons informasi. Umpan balik merupakan pemberian informasi berupa koreksi, komentar,analisis serta petunjuk mengapa jawaban siswa itu salah dan bagaimana seharusnya benar.

Untuk mengantisipasi kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan siswa dalam menjawab butir tes, serta mempercepat proses perbaikan dan pemahaman terhadap materi, maka salah satu strategi umpan balik yang diberikan adalah melalui pendekatan kelompok. Menurut Schmuck and Schmuck (1983: 12-18) melalui kelompok dapat merangsang siswa untuk saling berinteraksi antara satu dengan lainnya, tumbuh rasa sosial, dan saling ketergantungan pribadi, serta bersama-sama memberikan kontribusi untuk mencapai tujuan bersama. Killen (1998: 62) menyatakan bahwa umpan balik kelompok merupakan salah satu strategi pembelajaran yang paling efektif dalam pembelajaran praktis untuk menjelaskan subject area atau lesson content.

Dalam penyajian umpan balik secara kelompok, para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dan diarahkan untuk membahas dan menelaah hasil jawabannya yang telah dikoreksi guru, sehingga mendapatkan suatu jawaban yang benar.

Romiszowski ( 1986: 157 ) menyatakan bahwa melalui kelompok-kelompok kecil dapat memberikan peluang bagi setiap anggota kelompok untuk berdiskusi, mengklarifikasi permasalahan yang muncul, saling mengkritik sesamanya. Selain itu lebih sistematis dan berorientasi pada tujuan pembelajaran.

Tujuan pemberian umpan balik kelompok adalah membangkitkan interaksi yang efektif antara anggota kelompok melalui diskusi, sehingga terjadi komunikasi dua arah. Oleh karena itu melalui diskusi dalam kelompok dapat: (1) melatih siswa dalam mengembangkan keterampilan bertanya, berkomunikasi, mengemukakan pendapat, menafsirkan dan menyimpulkan bahasan, (2) melatih siswa untuk berpikir kritis dan terbuka, (3) mengembangkan keberhasilan siswa dalam menemukan pendapat, (4) melatih berpikir verbal dengan cara mengkonstruksi dan merekonstruksi pengetahuan siswa.

Pemberian umpan balik kelompok menekankan aktivitas pembelajaran lebih terpusat pada siswa, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator, mediator dalam memberikan arahan terhadap materi dan prosedur yang akan dibahas, sekaligus sebagai evaluator dari pekerjaan siswa.

Pemberian umpan balik kelompok memiliki beberapa keunggulan itu antara lain: (1) meningkatkan rasa social, (2) berpeluang untuk berinteraksi dalam kelompok, (3) berpeluang untuk mengembangkan skill, (4) dapat mengembangkan intelektual, (5) terjalin hubungan antara guru dan siswa secara humanistic, (6) dapat menumbuhkembangkan kepribadian, (7) dapat mengembangkan kreatifitas (Romiszowski, 1986:158).

Pendapat yang senada dikemukakan oleh Killen (1998:64) menyatakan bahwa pemberian umpan balik kelompok memiliki beberap keunggulan antara lain: (1) saling member dan menerima gagasan, (2) menghargai kelebihan dan memahami kelemahan satu sama lain, (3) mendorong siswa berpartisipasi aktif dalam kelompok, (4) merekonstruksi pemahaman siswa terhadap pokok materi yang dibicarakan. Lebih lanjut Killen mengemukakan bahwa selain memiliki keunggulan, umpan balik kelompok memiliki keterbatasan antara lain: (1) memerlukan penyesuaian cara belajar siswa dari teacher center ke student center (2) beberapa siswa pada awalnya merasa sulit untuk diterima sebagai anggota kelompok, (3) seringkali keluar dari isu yang dibicarakan, (4) penilaian formal secara individual sering mengalami kesulitan, (5) beberapa siswa lebih senang menerima pembelajaran langsung dari guru dibandingkan diberi tugas secara kelompok, (6) memerlukan waktu yang banyak untuk persiapan, (7) bagi siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi akan kehilangan insentif ketika digabung dengan siswa yang kemampuannya rendah.

Untuk memanfaatkan kelebihan dan meminimalisir keterbatasan tersebut, maka guru matematika dalam menerapkan umpan balik kelompok perlu: (1) menetapkan secara jelas focus materi yang akan dibahas, (2) menetapkan secara jelas petunjuk atau prosedur pembahasan, (3) langsung tanpa dipengaruhi oleh guru, (4) semua siswa berpartisipasi, (5) pengawasan untuk menghindari penyimpangan terhadap materi yang dibicarakan, (6) penetapan waktu yang tepat, dan (7) member kesimpulan yang logic terhadap hasil kerja masing-masing kelompok (Romiszowski, 1986:62).

Dengan demikian pemberian umpan balik kelompok yang menekankan diskusi, Tanya jawab dan tanggung jawab member peluang yang seluas-luasnya kepada siswa untuk berperan aktif dalam memberikan pendapat, berargumentasi, saling mengoreksi, dan bekerja sama dalam menelaah setiap jawaban baik itu jawaban benar maupun jawaban yang salah dan berusaha mencari solusi memperbaikinya. Kesalahan atau kekurangpahaman terhadap materi tersebut segera dituntaskan secepatnya melalui umpan balik kelompok, sehingga akan memperlancar proses pembelajaran yang pada akhirnya akan berdampak pada hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika.

D. Umpan Balik Evaluasi Formatif Individual

Umpan balik evaluasi formatif individual adalah salah satu cara penyajian umpan balik yang dilakukan untuk: (1) menginformasikan tentang skor unjuk kerja siswa atau skor hasil tes, (2) menginformasikan benar atau salahnya jawaban siswa terhadap butir soal yang diberikan melalui evaluasi formatif, dan (3) memberikan koreksi serta penjelasan terhadap setiap butir yang dijawab salah melalui lembar jawaban siswa tanpa dilakukan diskusi atau Tanya jawab.

Posisi siswa dalam umpan balik individual, hanya menerima informasi satu arah dari guru tentang skor yang diperolehnya, koreksi atau pembetulan terhadap butir-butir soal yang dijawab salah, koreksi terhadap butir-butir soal yang jawabannya kurang lengkap, serta ditambahi penjelasan melalui lembaran jawaban siswa tentang alternatif pemecahan masalah pada butir-butir soal yang memungkinkan beberapa alternative pemecahan.

Pemberian umpan balik evaluasi formatif secara individual, merupakan strategi pembelajaran untuk menstimulasi kembali pengetahuan yang dimiliki siswa, agar dengan pengetahuan itu ia dapat memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Oleh karena itu, umpan balik individual menghendaki siswa belajar secara mandiri untuk mengkaji dan menelaah secara individual terhadap koreksi guru.

Belajar mandiri merupakan salah satu kapasitas untuk membangun pengetahuan individu untuk merefleksi stimuli yang dating dari luar seperti koreksi guru terhadap kesalahan jawaban, sekaligus memperluas pengetahuan dan pengalamannya. Hal ini sesuai pendapat Sinitsa, yang menyatakan bahwa belajar mandiri merupakan kapasitas untuk membangun pengetahuan individu melalui refleksi terhadap stimuli dari luar, dan memperluas pengetahuan dan pengalaman individu melalui interaksinya dengan lingkunga.

Memperhatikan pendapat Sinitsa dan dikaitkan dengan konteks umpan balik, maka yang dimaksudkan dengan stimuli-stimuli tersebut adalah hasil koreksi guru terhadap hasil jawaban siswa yang dilengkapi dengan beberapa petunjuk atau penjelasan mengenai konsep, prinsip dan prosedur yang mengarahkan siswa kepada suatu jawaban yang benar. Hasil koreksian tersebut, merupakan stimuli yang menghendaki siswa untuk merespons dengan cara menelaah dan memperbaiki sesuai kapasitas dan kemampuan intelegensi yang dimilikinya.

Kemampuan untuk menelaah dan memperbaiki kesalahan tersebut sangat memungkinkan, karena dengan asumsi bahwa: (1) setiap siswa dapat belajar sendiri tanpa atau dengan sedikit bantuan pengajar, (2) setiap siswa memiliki keunikan dengan segala kebiasaan, kemampuan, minat dan bakatnya yang sangat berbeda dengan lainnya (Anita Lie, 2002:25-26).

Asumsi ini lebih dipertegas oleh Piaget dengan teori “Genetic Epistemology” yang menyatakan bahwa anak pada tahap perkembangan operasi formal yakni pada umur 12-15 tahun telah memiliki kemampuan berpikir abstrak (http://tip.psychologi.org./ piaget. Html,2003:2).

Pada usia ini menurut Piaget pada umunya siswa: (1) dapat membaca dengan baik, (2) mudah memahami petunjuk atau perintah dengan baik, (3) dapat bekerja mandiri dan bekerja sama dengan baik, (4) berpikir logic, (5) berpikir induktif dan deduktif, dan (6) memiliki ketajaman berpikir untuk menghubungkan satu pola ke pola lain. Selain itu Gardner menyatakan bahwa setiap anak memiliki “ multiple intelegence “, sehingga sangat memungkinkan anak menjadi super atau briliyan dalam kemampuan berpikirnya.

Berdasarkan asumsi dan pendapat ahli tersebut, dapat dipahami bahwa dengan keunikan karakteristik tersebut, sangat memungkinkan bagi siswa untuk bekerja secara mandiri, tanpa didominasi oleh pengajar atau tekanan teman sebaya dalam memecahkan persoalan matematika, termasuk menelaah dan memperbaiki kesalahan jawaban yang dilakukannya terhadap tes formatif. Hal ini sesuai dengan teori humanistik yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles memandang bahwa anak diberi kebebasan dalam belajar. Bantuan diberikan kepada anak, apabila ia mengalami kesulitan. Pemberian umpan balik secara individual akan memberi kebebasan pada siswa untuk mengkaji dan menelaah sendiri hasil koreksi guru terhadap kesalahan jawaban yang dilakukannya.

Dengan melatih dan mengkaji secara terus menerus terhadap koreksi dan petunjuk guru, akan memberikan pengalaman yang sangat berharga, sehingga dengan pengalaman tersebut akan memperkuat pemahamannya terhadap konsep-konsep matematika dan pada akhirnya akan berdampak pada hasil belajar yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pandangan Skinner yang menyatakan perilaku anak dapat dibentuk melalui serangkaian kegiatan yang diawali dari pengetahuan yang telah dikuasainya menuju kepada prilaku yang diharapkan dengan memberikan penguatan terhadap setiap keberhasilannya.

Umpan balik evaluasi formatif individual yang diinformasikan melalui lembaran jawaban sangat baik menjaga kerahasiaan pribadi siswa, karena disampaikan secara langsung kepada siswa tanpa dihadiri orang lain. Selain itu pemberian umpan balik individual memiliki beberapa aspek positif yang sangat menguntungkan siswa dalam belajar individual. Aspek-aspek itu adalah: (1)sangat baik untuk siswa introvert dan pemalu, (2) membangun kepercayaan diri, (3) aman dari tekanan teman sebaya, (4) menimbulkan motivasi intrinsik berupa: (a) tantangan diri sendiri bekerja lebih baik untuk berikutnya, (b) ingin tahu, (c) control waktu dan urutan, (5) membangun disiplin diri, (6) dapat mengakomodasi ,learning style, cognitive style dan pendekatan pembelajaran, (7) dapat bekerja dengan tahapan waktu yang efektif, (8) mengulangi beberapa kali pekerjaan sesuai keperluan penguasaan, dan (9) memberikan kepuasan pribadi.

Umpan balik individual memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk menelaah dan mengkaji kembali koreksi kesalahan, baik kesalahan konsep, prinsip, maupun kesalahan dalam menggunakan prosedur penyelesaian soal.

Dengan demikian umpan balik evaluasi formatif individual diharapkan dapat memberikan motivasi kepada siswa, sehingga lebih bergairah dalam memahami keterkaitan antara satu fakta dengan fakta lain, konsep satu dengan konsep lain, prinsip satu dengan prinsip lain, serta keterampilan pengopersiannya. Jika umpan balik evaluasi formatif koreksi individual dilakukan oleh guru setiap mengakhiri pertemuan atau pokok bahasan, maka dapat diasumsikan bahwa tujuan pembelajaran matematika yang telah dirumuskan akan tercapai. Hal ini berarti hasil belajar matematika yang diharapkan akan tercapai.

E . Hakikat Kepribadian Extrovert dan Introvert

Kepribadian adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seseorang, karena kepribadian merupakan wujud nyata atau gambaran dari prilaku seseorang.

Hjelle and Ziegler ( 1992: 3) menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu konsep abstrak yang mencirikan seseorang. Ciri itu meliputi emosi, motivasi, pikiran, pengalaman dan perbuatan.

Allport dari hasil telaahannya terhadap lima puluh definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyatakan bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis di dalam individu sebagai system psikofisik yang menentukan cara yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan (dalam Hall and Linzey 1998:44 ).

Memperhatikan kedua pendapat di atas, dapat disimak bahwa kepribadian merupakan satu kesatuan organik, dinamik, dan permanen yang merupakan bentuk kekuatan fungsional berdasarkan urutan proses yang terorganisir dari tingkah laku seseorang.

Dalam kaitannya dengan kepribadian, Eysenck menyatakan bahwa kepribadian sebagai suatu pola tingkah laku dari individu, baik itu yang tampil maupun yang masih berbentuk potensi, dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan atau hasil belajar ( dalam Hall and Linzey 1998:437). Lebih lanjut Eysenck menyatakan bahwa pola tingkah laku itu berkembang melalui interaksi fungsional antara aspek konatif yang berkenaan dengan karakter, aspek afektif berkenaan dengan temperamen, dan aspek somatik berkenaan dengan konstitusi. Karakter, temperamen dan konstitusi tersebut, merupakan perilaku yang nampak dan konsisten, sehingga dapat dijadikan indikasi kepribadian seseorang. Selain Allport dan Eysenck, Lanyon dan Goodstain (1997:48) menyatakan bahwa kepribadian sebagai abstraksi karakteristik perilaku yang signifikan dan menetap pada diri seseorang yang dapat diamati melalui perilakunya terhadap oring lain.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah segala bentuk perilaku yang terorganisir, unik dan menetap dalam diri seseorang yang dipergunakan untuk merespons stimulasi dari dalam dan luar dirinya yang dipengaruhi oleh factor hereditas dan lingkungan.

Bentuk dan perilaku yang terorganisir dan menetap dalam diri seseorang tersusun secara khirarkhis dalam suatu struktur kepribadian.

Bryne (1966:124) menyatakan struktur kepribadian adalah refresentasi statis antara hubungan yang terorganisir dari variable kepribadian. Konsep struktural mengacu pada karakteristik yang relatif menetap yang ditunjukkan oleh perilaku individu dalam lintas waktu dan situasi, sehingga membentuk dimensi kepribadian.

Eysenck (1994:289) menyatakan bahwa struktur kepribadian tersusun mulai dari yang paling tinggi (umum) ke paling khusus cakupannya yakni mulai dari: (1) type, (2) trait, (3) habitual response, dan ke (4) specific response. Lebih lanjut Eysenck menyatakan bahwa tipe adalah sekumpulan atau sindrom trait yang berhubungan satu sama lain dan dapat diobservasi, tipe tersusun atas beberapa komponen yang berupa trait yang merupakan refleksi yang lebih spesifik dari type yang mendasarinya.Trait terbagi atas respon kebiasaan (habitual response) yang merupakan sekumpulan tingkah laku spesifik yang muncul bersamaan dalam situasi yang sama dan serupa. Habitual response terbentuk dari respon khusus atau spesifik response yang merupakan tingkah laku yang muncul dalam suatu kejadian tertentu dan tingkah laku ini merupakan struktur kepribadian yang paling terbatas generalisasinya. Hirarkhi kepribadian di atas, terbentuk berdasarkan pengelompokan yang saling berkorelasi yakni mulai dari respon khusus yang dimiliki seseorang berkorelasi satu sama lain membentuk suatu kelompok respon kebiasaan. Respon-respon kebiasaan saling berkorelasi dan membentuk kelompok sifat. Selanjutnya sifat-sifat yang seidentik saling berkorelasi dan membentuk tipe.

Dengan menggunakan teknik analisis faktor tersebut, dan berdasarkan pada lima faktor trait yang independen yaitu sociability, impulsiveness, activity, liveliness and exitability, Eysenck dalam penelitian awal berhasil menemukan dua dimensi dasar kepribadian yang diberi label “Exraversi (introversion-entroversion) dan neuroticism (emotionally stable-unstable).Selanjutnya Eysenck (1994:629) menemukan dimensi ketiga dari kepribadian, yaitu “psychotisme” (Pervin and John, 1997:234).

Eysenck (1994:629) menyatakan bahwa extraversi merupakan pengelompokan hasil interkorelasi antara sifat-sifat ramah/suka bergaul (sociable), lincah/bersemangat (lively), aktif, tegas, (assertive), suka kejutan (sensation-seeking), periang (carefree), berkuasa (dominant), menggelora (surgent), petualang (venturesome).

Eysenck dalam Hall, (1998:370) menyatakan bahwa orang dengan tipe kepribadian extrovert memiliki sifat sosial, menyukai pesta, memiliki banyak teman bicara, membutuhkan teman bicara, tidak menyukai belajar sendiri. Mereka menyukai kegembiraan, suka mengambil kesempatan, cenderung mengambil resiko, sering bertindak sesuai situasi dan impulsive. Mereka senang bercand, selalu memiliki jawaban yang siap, menyukai perubahan, ingin bebas, easy going, optimis, cenderung agresif dan mudah marah. Perasaan mereka tidak terikat pada satu kontrol dan tidak selalu bias diandalkan.

Tipe introvert adalah orang yang pendiam, tenang introspektif, lebih senang buku dari pada berhubungan dengan orang, menarik diri, mengambil jarak kecuali teman dekat, berencana jauh ke depan, tidak mengikuti impuls yang muncul pada situasi tertentu, tidak menyukai kegembiraan, serius, menyukai hidup yang teratur, menjaga perasaannya, tidak mudah marah, jarang bersikap agresif, dapat diandalkan, pesimis dan menempatkan nilai utamanya pada standar-standar etika.

Dengan demikian tipe kepribadian extrovert didefinisikan sebagai bentuk abstraksi karakteristik seseorang yang berkaitan dengan kecenderungan: (1) berhubungan sosial dengan orang lain atau menghindari (sociability), dengan indicator: (a) keramahan, (b) kemudahan bergaul dan berteman,(2) pengendalian kata hati (impulsiveness), dengan indicator: (a) kehendak hati tanpa dipikirkan, (b) kehati-hatian, (c) ketidak sabaran (3) keaktifan (activity), dengan indicator: (a) giat dan tidak aktif (b) inisiatif, (d) responsive; (4) kegembiraan (liveness), dengan indikator: (a) bersemangat, (b) kelincahan; (5) periang (carefree), dengan indikator: (a) kegembiraan dan keriangan,(c) kesenangan, (6)surgent dengan indicator ; (a) menggelora (7) venturisome dengan indikator: keberanian pergi dengan resiko.

E. Kerangka Berpikir

Untuk disain pembelajaran, kedua kelompok perlakuan dibuatkan sama, kecuali pelaksanaan umpan balik evaluasi formatifnya. Sebagai tes akhir kedua kelompok perlakuan diberi tes hasil belajar yang sama. Adapun prosedur lengkap eksperimen ini adalah: (1) pemberian tes kemampuan awal dan tes tepe keperibadian, (2) perlakuan, dan (3) pemberian tes akhir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada krangka berpikir berikut ini.




Pertemuan I Pertemuan 2 s/d 15 Pertemuan 16

Kelas Model

Umpan Balik Evaluasi Formatif Secara Kelompok

Untuk :

Extrovert

Introvert

PBM, Cerama,

Diskusi

Pemberian Umpan Balik Evaluasi Formatif secara Kelompok

















Oval: Tes Kemampuan Awal dan tipe Kepribadian


















Tes Kemampuan awal dan Tipe Perlakuan Post Tes

Kepribadian Siswa

Diagram disain perlakuak penelian.

G.Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoretis, analisis dan sintesis serta kerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut: (1) secara keseluruhan hasil belajar matematika pada siswa yang memperoleh umpan balik evaluasi formatif secara kelompok lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh umpan balik evaluasi formatif secara individual, (2) secara keseluruhan hasil belajar matematika untuk siswa yang berkepribadian introvert lebih tinggi dari pada siswa yang berkepribadian extrovert, (3) untuk kelompok siswa yang memiliki tipe kepribadian extrovert, hasil belajar matematikanya lebih tinggi menerima umpan balik evaluasi formatif secara kelompok dibandingkan dengan siswa yang menerima umpan balik evaluasi formatif secara individual, (4) untuk kelompok siswa yang memiliki tipe kepribadian introvert, hasil belajar matematikanya lebih tinggi menerima umpan balik evaluasi formatif secara individual dibandingkan dengan siswa yang menerima umpan balik evaluasi formatif secara kelompok, (5) terdapat interaksi antara pemberian umpan balik evaluasi formatif dengan tipe kepribadian siswa terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Disain Penelitian

1. Metode Penelian

Berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk menguju pengaruh variable bebas terhadap variavel terikat, maka metode yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rancangan “ Factorial Group Design” 2 x 2. Adapun yang menjadi variable bebas dalam penelitian adalah umpan balik evaluasi formatif dan kepribadian siswa. Sedangkan variable terikat adalah hasil belajar matematika. Umpan balik evaluasi formatif yang merupakan variable bebas perlakuan, diklasifikasikan menjadi dua yaitu umpan balik evaluasi formatif yang diberikan secara kelompok dan unpan balik evaluasi formatif yang diberikan secara individual. Adapun kepribadian siswa yang merupakan variable bebas atribut, yang juga diklasifikasikan ke dalam dua tipe yaitu tipe kepribadian extrovert dan tipe kepribadian introvert. Oleh karena variable perlakuan dan variable atribut masing-masing terbagi dua, maka rancangan penelitian yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan factorial 2 x 2 yang matriksnya seperti pada table berikut ini




Variabel Perlakuaan A

Umpan balik evaluasi Umpan balik evaluasi

Variabel Atribut B Formatif Kelompok(A1) Formatif individual(A2)

Extrovert (B1) A1B1 A2B1

Introvert (B2) A1B2 A2B2




Perlakuan:

A1 = Kelompok siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif yang diberikan secara kelompok

A2 = Kelompok siswa yang diberi umpan balik evaluasi formatif yang diberikan secara individual

B1 = Kelompok siswa yang memiliki tipe kepribadian extrovert

B2 = Kelompok siswa yang memiliki tipe kepribadian introvert

2. Disain Perlakuan penelitian

Perlakuan yang ditepkan dalam penelitian ini adalah pelaksanaan eksperimen dalam bentuk pemberian umpan bali evaluasi formatif secara kelompok, dan pemberian umpan balik evaluasi formatif secara individual. Perlakuan diberikan pada dua kelompok siswa yang berbeda secara subjek.

Perlakuan diberikan selama satu semester. Materi perlakuan adalah materi pelajaran matematika pada kelas II atau kelas 11 pada semester ganjil yang dilaksanakan selama 14 kali pertemuan.

Dalam Pelaksanaannya, masing-masing materi pokok dibuatkan disain pembelajaran yang sama untuk semua kelompok perlakuan, kecuali pada waktu pelaksaan umpan balik evaluasi formatif. Dalam hal ini diberikan umpan balik evaluasi formatif secara kelompok, sementara kelompok lainnya diberikan umpan balik evaluasi formatif secara individual. Dalam rangka mendapatkan perbaikan dan pemahaman yang sama, maka sebelum pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu bahan perlakuan disosialisasikan dan didiskusikan dengan guru mata pelajaran matematika pada setiap kelompok perlakuan. Guru yang memberikan perlakuan terdiri dari dua orang yang mempunyai latar belakang yang sama. Metode penyampaian pembelajar menggunakan metode ceramah dan diskusi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dpat disimpulkan bahwa kedua kelompok perlakuan memiliki karakteristik yang sama dan mendapat materi pembelajaran yang sama. Sesuai dengan rancangan penelitian yang menggunakan rancangan Faktorial 2 x 2 seperti pada table di atas. Eksperimen ini melibatkan dua kelompok subyek. Kelompok A1 diberikan umpan balik evaluasi formatif secara kelompok, sedangkan kelompok A2 mendapatkan umpan balik evaluasi formatif secara individual.

Sebelum mendapat perlakuaan terlebih dahulu subyek penelitian mendapatkan tes kemampuan awal dan tes tipe kepribadian. Tes kemampuan awal dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesetaraan kemampuan siswa dalam mata pelajaran matematika di antara kedua kelompok yang akan dikenai perlakuan. Adapun tes tipe kepribadian dilakukan dengan maksud untuk mengetahui karakteristik kepribadian siswa dan menentukan siswa-siswa yang akan dikenai perlakuan, yaitu siswa yang memiliki tipe kepribadian extrovert, dan siswa yang memiliki tipe kepribadian introvert.

Daftar Pustaka

Ali, Muhammad. 2000. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Badung: Sinar Baru Algensindo

A.M. Sardiman. 2000. Interaksi dan Motivasi BelajarnMengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Bell, F.H. 1978, Teaching and Learning Mathematics in Secondary Lowa: Brown Company. School

Black, Paul and Dylan William’s. 1999, The Value of Formative Assesment. (http://fairtest. org/ sxmarts/winter99/k-forma3.html).

Bloom, Benyamin S. 1979. Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I, Cognitive Domain. London: Longman Inc.

Bryne, Donn. 1966, An Introduction to Personality. Englewood: Prentice Hall.

Cole, Peter G and Lorna Chan. 1994. Teaching Principles and Practice. New York: Prentece-Hall of Australia Pry Ltd.

Depdiknas. 1994. Kurikulum 1994 Mata Pelajaran Matematika SMU/MA. Jakarta: Depdiknas

Delvin, Keith. The Math Gene, 2000. How Mathematical Thinking Evolved and Why Numbers are Like Gossip. California: Basic Books Publisher.

Dick, Walter and Robert Reiser. 1988. Planning Efective Instruction. Boston: Allyn and Bacon

Dick, Walter and Lou Carey. 1990. A Systematic Design of instruction. New York: Harper Collins Publishers.

Ernest Paul. 1991. The Philosophy of mathematics Education. New York: Falmer Press.

Eysenck, H.J., 1994. Trait Theories of Personality.”Companion Encyclopedia of psychology, ed. Andrew M. Colman. London: Routledge.

Gagne, Robert M. 1977. The CondTitions of Learning. New York: Holt, Rinchart and Winston.

Gagne, Robert M. 1975. Essential of Learning for Instruction. Illionis: Rinchart and Winton, Inc

Gagne, Robert M. 1979. Prinnciples of Instructionan Design. New York: Holt, Rinchart and Winston.

Good, Thomas L. and Jere E. Brophy. 1990, Educational Psycochology. New York: Longman

Gronlund, Norman. 1993. Constructing Achievement Test. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc

Hall, Calvin S. & Gardner Linzey. 1998. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Hasan, S. Hamid. 1996. Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdikbud.

Higgins, John L. 1973. Mathematics Teaching and Learning. Worthington: Ohio.

Hopkins, Charles D and Richard I Antes. 1990. Classroom Measurement and Evaluation. Illions: Peacoe Publishers,Inc.

Irawan, Prasetya. Suciati, dan I.G.K.Wardani. 1997. Teori Belajar, Motivasi, dan Keterampilan mengajar. Jakarta: PAU-DIKTI Depdikbud.

Lie, Anita, 2002. Cooperative Learning. Jakarta:Grasindo.

Makmun, Abin Syamsuddin. 2004. Psikilogi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Piaget,Jean.2988. Antara Tindakan dan Pikiran, Terjemahan Agus Cremers, Jakarta: PT Gramedia.

Piaget,Jean.2003.Genentic Epistemology. (http://tip.psychology.org./piaget .html)

Reigeluth, Charles M. 199. Instructional Design Theories and Models. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers

Romiszowski, A,J. 1986. Developing Auto Instructional matrials. New York:Nichols Publishing Com.

Sales. 1993. Interactive Instruction and feedback.New Jersey: EnglewooMartin, Cliffs.

Seels, Barbara B. Rita C. Richey, 1994. Instructional Technology: The Definition and Domains of then Field. Washintongton DC: AECT,

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, Jakarta: Reneka Cipta.

Tessmer, 1995 Planning and Conducting Formative Evaluation.London: Kogan Page Limited .

W.S. Winkel, 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.