Sabtu, 07 November 2009

PERAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN

A. Pendahuluan

Reformasi bagi suatu bangsa dan negara merupakan reformasi dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tidak hanya sekedar sebagai suatu konsep belaka, tetapi harus dapat diwujudkan melalui serangkaian kegiatan pembangunan baik fisik maupun non fisik. Reformasi adalah pembangunan tatanan kehidupan yang bertumpu pada kepentingan bangsa dan bukan pada egoistis para penentu kebijakan pembangunan. Reformasi membutuhkan perubahan prilaku, cita-cita, dan nilai yang membangun kebersamaan, suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa ( Tilaar, 1999)

Pendidikan sebagai salah satu aspek kehidupan bangsa, tidaklah luput dari gerakan reformasi, suatu gerakan yang menginginkan perwujudan nyata cita-cita bangsa yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur. Gerakan itu tentunya memberikan beban yang amat berat bagi sektor pendidikan. Sektor pendidikan harus manpu menunjukkan jati dirinya sebagai ujung tombak perwujudan cita-cita bangsa.

Reformasi dalam sektor pendidikan haruslah dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang sebaik-baiknya khususnya bagi penyelenggaraan proses belajar mengajar. Hal ini sebenarnya telah menjadi suatu komitmen bangsa dari dulu hingga sekarang, namun masih sangat perlu adanya upaya yang lebihh nyata dan konsisten dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti pembenahan dalam pelaksanaan sistem pendidikan terutama pada pelaksanaan proses belajar mengajar. Pembenahan yang dimaksud diarahkan pada terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan efesien serta penerapan teknologi pendidikan sebagai salah satu usaha untuk mengatasi masalah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan secara maksimal. Peranan pendidikan selama ini perlu dibenahi dengan landasan kebijakan strategi; merumuskan dan melaksanakan strategi pendidikan baru atau mereformasi sistem pendidikan dan mendayagunakan peran teknologi pendidikan (Miarso, 1988)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengankat pertanyaan kunci yakni apakah peran teknologi pendidikan dan efektivitas PBM merupakan suatu tuntutan reformasi pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka pembahasan akan dimulai dengan menyajikan peran teknologi pendidikan, makna reformasi pendidikan, efektivitas proses belajar mengajar,

B.Peran Teknologi Pendidikan

1. Pengertian

Boleh dikatakan hampir tiap hari kita mendengar dan membaca kata teknologo. Misalnya kata teknologi pertanian, teknologi pertambangan, teknologi komputer atau teknologi canggi, dan sekarang ada kata teknologi pendidikan. Apakah sebenarnya teknologi pendidikan itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penulis terlebih dahulu mengemukakan kata teknologi. Apa sebenarnya teknologi itu? Kalau mendengar kata teknologi sering kali orang mengaitkan dengan mesin, seolah-olah teknologi hanya berkaitan dengan permesinan. Teknologi merupakan perpaduan yang kompleks dari manusia dan mesin, ide, prosedur, dan pengelolaan (Hoban, dalam AECT, 1977)

Kata teknologi seolah tak lepas dari ilmu pengetahuan kare meman pada hakekatnya teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan lain yang terorganisir ke tugas-tugas praktis (Galbraith, dalam AECT, 1977). Teknologi adalah penerapan sistimik dan sistematik dari konsep ilmu perilaku dan ilmu fisika serta pengetahuan lain untuk memecahkan suatu masalah ( Gentry, dalam Anglin, 1991).

Apapun batasan teknologi yang dipakai, pada dasarnya teknologi bersifat bebas nilai baik buruknya terletan pada manusia yang menggunakannya. Teknologi mengarah pada efesiensi dan efektivitas serta pengupayaan pada nilai tambah. Teknologi juga tidak dapat dilepaskan dari masalah karena pada hakekatnya teknologi ada untuk memecahkan masalah tersebut. Pemecahan teknologi terhadap suatu masalah besar kemungkinan akan menimbulkan masalah lain, ini tidak berarti bahwa teknologi harus dihindari.

Bagaimana dengan teknologi pendidikan? Teknologi Pendidikan dapat dipandang sebagai produk maupun sebagai proses. Sebagai suatu produk teknologi pendidikan lebih mudah dipahami karena sifatnya yang kongkrit. Tidaklah mengherankan bila begitu mendengar kata teknologi pendidikan orang dengan cepat mengaitkannya dengan OHP, pesawat radio, kaset audio, televisi, film, dan proyektor film. Teknologi pendidikan lebih luas dari sekedar media pendidikan, baik perangkat keras ( Hardware) maupun perangkat lunak ( Software). Jadi media pendidikan hanyalah sebagian dari konsep teknologi pendidikan (AECT, 1977)

Sebagai suatu proses teknologi pendidikan lebih abstrak sifatnya. Teknologi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan terpadu melibatkan orang, prosudur, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan masalah yang menyangkut semua aspek belajar manusia (AECT, 1977).

Sejalan dengan konsep teknologi, maka teknologi pendidikan ada karena adanya masalah dalam pendidikan. Telah diketahui bersama bahwa paling tidak ada empat masalah pokok dalam pendidikan saat ini yakni; pemerataan kesempatan belajar, peningkatan mutu, peningkatan efesiensi, dan keterkaitan antara pendidikan, kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Dengan kondisi seperti itu tidaklah mengherankan apabila output pendidikan hingga saat ini masih saja kurang menggembirakan. Pertanyaannya sekarang adalah apa yang bisa dilakukan oleh teknologi pendidikan untuk membantu meningkatkan mutu pendidikan tersebut?

2. Kemampuan Teknologi Pendidikan

Miarso (1988) mengemukakan bahwa teknologi pendidikan dapat didefenisikan kemampuannya dengan dua cara; Pertama dengan melakukan pengkajian empirik, dan kedua dengan melakukan analisis konseptual. Sedangkan The National Task Force on Educational Technology (1986,16) melaporkan hasil pengkajiannyantentang kegunaan teknologi pendidikan sebagai berikut: a) Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang efesien dari cara-cara konvensional; b) Mengajarkan konsep dan keterampilan penalaran pada peringkat tinggi yang sulit dikembangkan tanpa bantuan teknologi; c) Mengembangkan pemehaman tentang teknologi informasi serta kegunaanya bagi masyarakat dan dunia kerja; d) Memungkinkan guru untuk mengelola lingkungan belajar, dimana belajar dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa, serta kemampuan mereka untuk mencapai penguasaan yang dipreskripsikan; serta e) Mengembangkan keterampilan dalam menggunakan komputer dan teknologi lain yang berkaitan.

Penerapan teknologi pendidikan dalam pendidikan hendaknya membuat proses pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar pada khususnya lebih efisien, lebih efektive dan memberikan nilai tambah yang positif. Efektif dan efesien berarti upaya pendidikan yang dilakukan hendaknya dapat mencapai tujuan yang telah digariskan dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu. Kondisi seperti tersebut di atas dimungkinkan karena teknologi pendidikan memiliki beberapa potensi sebagaimana yang dikemukakan oleh Ely dalam Sadiman (2000) sebagai berikut:

a. Meningkatkan produktivitas pendidikan dengan jalan : 1) Mempercepat laju belajar; 2) Membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik; dan 3) Mengurangi beban guru dalam menyejikan informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegairahan belajar anak. Dengan demikian guru akan lebih banyak berfungsi sebagai manager pembelajaran.

b. Memberikan pendidikan yang sifatnya lebih individual denganjalan: 1) Mengurangi kontrol guru yang kaku dan konvensional, 2) Memberikan kesempatan anak belajar secara maksimal, 3) Dapat melayani karakteristik individu yang berbeda-beda, karena adanya berbagai pilihan sumber belajar.

c. Memberikan dasar yang ilmiah pada pengajaran dengan jalan: 1) Perencanaan program pengajaran yang lebih sistimatis; dan 2) Pengembangan bahan pengajaran yang dilandasi penelitian tentang prilaku manusia.

d. Lebih memantapkan pengajaran dengan jalan: 1) Meningkatkan kemampuan guru dengan berbagai media komunikasi, dan 2) Penyajian data informasi secara lebih kongkrit.

e. Kemungkinan belajar secara seketika, karena dapat : 1) Mengurangi juran pemisah antara pelajaran di dalam dan di luar sekolah, 2) Memberikan pengetahuan langsung apa yang ada di luar sekolah dapat dibawa masuk ke kelas.

f. Memungkinkan penyajian pendidikan secara lebih luas, terutama dengan adanya media dengan jalan: 1) Pemanfaatan bersama secara lebih luas tenaga atau kejadian yang langkah, dan 2) Penyajian informasi yang tembus batas geofrafi.

Teknologi pendidikan mempunyai potensi dan peran yang besar dalam meningkatkan mutu pendidikan, tidak saja mutu outputnya tetapi juga proses inputnya. Hal ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Sadiman (2000) dengan teknologi pendidikan akan dapat dihasilkan berbagai produk berupa media pendidikan baik cetak maupun non cetak, yang pada gilirannya media ini nanti akan memperkaya variasi sumber belajar yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas.

Treichler dalam Dwyer (1978) mengemukakan bahwa pada diri manusia yang normal proses belajar terjadi paling banyak lewat indra lihat (mata) yaitu sekitar ( 83% ), hanya sekitar ( 11% ) lewat indra pendengaran (telinga), dan sisanya terbagi dalam tiga indra yang lain. Sementara itu Sadiman (2000) mengemukakan bahwa pada umumnya orang muda mengingat apa yang mereka lihat dan dengar (50%), kalau lihat saja (30%), dengar saja (20%), dan yang mereka baca (10%). Sedangkan Arsyad yang mengetif pendapat Baugh dalam Achsin (1986) mengemukakan bahwa kurang lebih (90%) hasil belajar seseorang diproleh melalui indra pandang, dan hanya sekitar (5%) diproleh melalui indra dengar, dan (5%) lagi dengan indra lainnya. Sementara prosentase hasil belajar yang diproleh menurut Dale (1969) dalam Arsyad (2000) memperkirakan bahwa berkisar (75%) pengetahuan yang diproleh melalui indra lihat, (13%) melalui indra dengar, dan sekitar (12%) melalui indra lainnya.

Proses belajar mengajar yang cendrung bersifat verbalistik, pada hal diketahui bahwa cara belajar seperti itu mempunyai hambatan yang besar. Hal ini telah dikemukakan oleh Edgar Dale dalam kerucuk Pengalamannya, bahwa cara yang paling kongkrit untuk belajar adalah dengan mengalami secara langsung apa yang dipelajari, sedangkan yang paling abstrak adalah bila hanya dengan kata-kata (verbal). Diantara kedua ektrim tersebut dijumpai rentangan berbagai cara penyampaian pengalaman belajar. Lihat Sudjana (1989), Sadiman (1993), Hamalik (1994), Nasution (1994), dan Arsyad (2000).

Berdasar uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa pada dasarnya teknologi pendidikan dapat berperan serta dalam meningkatkan komponen-komponen sistem pendidikan, mulai dari masukan mentah, masukan instrumental hingga keproses balajar mengajarnya. Dengan penggunaan teknologi pendidikan yang mempunyai potensi besar dan dapat berperan serta dalam membantu meningkatkan mutu pendidikan.

C. Makna Reformasi Pendidikan

Secara umum istilah reformasi pendidikan dapat diartikan sebagai usaha perubahan untuk memperbaiki keadaan. Istilah ini dipertukarkan dengan istilah; pembaharuan, perubahan, perbaikan, restrukturisasi, atau pembangunan. Semua istilah itu mengandung makna yang sama, yaitu melakukan penyesuaian atas sistem yang ada sekarang. Cakupan pengertian yang sangat luas, karena dapat ditafsirkan dengan berbagai indikator tindakan. Misalnya dapat ditafsirkan dengan : Mengganti pimpinan dengan pimpinan baru yang lebih sesuai (Aspiratif), menambah anggaran untuk kegiatan seperti untuk pendidikan, peningkatan produktivitas lembaga, meningkatkan kualitas produk atau hasil, memberi kesempatan pendidikan yang lebih luas, dan lain sebagainya.

Menurut Banathy (1991), apa yang dimaksudkan dengan reformasi seringkali hanya merupakan ” doing More of the same”. Usaha ini kemudian ditingkatkan dengan ” Doing more of the same, but doing it better”, yang merupakan usaha peningkatan efisiensi. Usaha-usaha ini dikategorikan sebagai usaha reformasi gelombang pertama. Usaha pada gelombang kedua adalah peningkatan efektifitas pendidikan dengan mengatur kembali komponen sistem yang ada dan mendistribusikan tanggung jawab. Usaha pada gelombang ketiga yang dikenal dengan transformasi yaitu pengkajian seluruh sistem dan menciptakan desain baru. Pendapat senada dikemukakan oleh Reigeluth (1988) yang mengambil analogi pendapat Toffler The third wave of civilization pada gelombang pertama merupakan masyarakat pertanian dikenal sistem pendidikan seperti yang ada sekarang ini, sedangkan pada gelombang ketiga yang merupakan masyarakat teknologi elektronik dan informasi, dengan sisten pendidikan harus didesain ulang sesuai dengan tuntutan zaman.

Reigeluth (1997:3) mengemukakan bahwa paradikma sistematis mengandung arti adanya perubahan fundamental atas segala aspek pendidikan. Dalam pengertian sistem, perubahan pada satu aspek dalam sistem, akan mempengaruhi aspek lain agar sistem tetap berfungsi. Perubahan itu harus meliputi semua jajaran pendidikan, mulai dari jajaran kelas, sekolah, daerah, masyarakat, pemerintah. Pemikiran yang dikemukakan Reigeluth ini merupakan pemikiran lanjutan atas apa yang dikemukakan oleh Banathy (1991:86) yang mengkategorikan jajaran pendidikan kedalam empat lapis, yaitu lapisw pengalaman belajar sebagai lapis pertama, lapis kedua adalah sistem pembelajaran yang mengusahakan terselenggaranya pengalaman belajar, lapis ketiga adalah pengelolaan yang menunjang terselenggaranya sistem pembalajaran, lapis keempat adalah kelembagaan yang mengatur seluruh sistem pendidikan. Dan setiap lapis jajaran pendidikan tersebut harus dapat ditentukan tujuannya, maksudnya, hasilnya.

Usaha reformasi pendidikan menurut Banathy (19991) adalah harus dilakukan dengan menentukan perioritas mana yang akan digarap. Pada masyarakat yang menganut sistem pendidikan nasional yang memusat atau sentralistik, perioritas biasanya diletakkan pada lapis lembaga pemerintahan. Tujuan pendidikan pada lapis ini adalah membudayakan atau mengindoktroktrinasi peserta didik. Dan konsekuensinya pada lapis pengalaman belajar adalah ditujukan pada seragmnya respons pesrta didk terhadap pelajaran. Usaha reformasi yang dilakukan pada lapis ini pada hakikatnya hanya merupakan doing more of the same (menambah gedung sekolah, menambah jumlah guru, menambah anggaran, dan sebagainya).

Banathy (1991, 88) menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha reformasi pendidikan adalah perioritas diletakkan pada lapis pengelolaan, maka tujuannya adalah meningkatkan pengelolaan kegiatan operasional pendidikan. Konsekuensinya pada lapisan lembaga pemerintah adalah membudayakan dan memdidik peserta didik, dan pada lapis pengalaman belajar ditujukan pada respon peserta didik terhadap pembelajaran. Bilamana perioritas diletakkan pada lapis pengalaman belajar, maka tujuan pada lapis ini adalah menguasai tugas belajar dan manpu mengatasi persoalan belajar. Konsekuensinya pada lapis kelembagaan atau pemerintah adalah ditujukan pada jaminan ketersediaan sumber guna menunjang pengalaman belajar.

Bertolak dari paparan diatas penulis memahami bahwa inti dari reformasi pendidikan adalah pemberdayaan yaitu meliputi pemberdayaan peserta didik, pemberdayaan guru, dan pemberdayaan tenaga kependidikan lain, serta pemberdayaan masyarakat, maka perioritas reformasi pendidikan harus diletakkan pada lapis pengalaman belajar. Bila kita mengamati pelaksanaan pendidikan selama ini maka dapat disimpulkan bahwa yang diberdayakan dalam pelaksanaan pendidikan adalah pemerintah pusat yang menentukan segalanya. Sedangkan para pelaksana kependidikan dan peserta didik yang ada di lapangan harus menari berdasarkan gendang yang ditabuh.

Miarso (1998) menyatakan bahwa arah reformasi pendidikan yang benar secara konseptual adalah memberikan perioritas pada lapis sistem pembelajaran atau lapis pengalaman belajar. Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan investasi sumber daya manusia (SDM) jangka panjang dan berlangsung seumur hidup, maka reformasi pendidikan secara menyeluruh tidak mungkin dilaksanakan dalam jangka waktu yang pendek. Dalam jangka pendek dapat dilakukan pengmbilan keputusan atas perioritas reformasi. Tetapi keputusan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan berkelanjutan dalam jangka menengah maupun panjang.

Pendidikan merupakan usaha yang terpenting adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang handal. Sumber daya manusia yang handal adalah merupakan produk utama pendidikan namun pentingnya peranan pendidikan dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kurang mendapat perhatian nyata dari masyarakat maupun pemerintah. Berbagai tuntutan reformasi yang dikumandangkan akhir-akhir ini terutama yang meliputi bidang politik, ekonomi, hukum. Namun disayangkan kurangnya atau jarang sekali terdengar tuntutan untuk reformasi dalam bidang sosial khususnya pendidkan. Padahal pendidikan sangat menentukan tatanan politik, ekonomi, dan hukum. Kalau tidak didukung oleh manusia yang tidak berkepribadian, maka tatanan itu tidak banyak gunanya. Kepribadian itu sendiri merupakan obyek folmal endidikan, yaitu manusia dengan ciri beriman, taqwa, cerdas, terampil,jujur, dan berkepekaan sosial, serta cuinta tanah air.

D. Efektivitas Proses Belajar Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan inti dari keseluruhan sistem pendidikan, karena merupakan syarat mutlak bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Sebagai inti, maka kesuksesan dalam penyelenggaraannya haruslah mendapatkan perhatian dan penaganan secara sungguh-sungguh. Kegagalan penyenggaraan proses belajar mengajar akan memberikan pengaruh yang besar terhadap keseluruhan sistem pendidikan.

Proses belajar mengajar itu sendiri berintikan kegiatan belajar, dalam arti proses belajar mengajar harus manpu mengupayakan bagaimana siswa belajar. Karena inti dari proses belajar mengajar adalah siswa belajar, maka efektivitasnya sangat bergantung pada efektivitas siswa dalam belajar (J. Mappiare, 19989). Demikian pentingnya kegiatan belajar, sehingga Muhibbin Syah (1995) mengemukakan bahwa tanpa belajar tak pernah ada pendidikan, karena bagian terbesar proses pendidikan adalah diarahkan pada tercapainya proses perubahan pada diri manusia.

Pembenahan proses belajar mengajar harus diarahkan kepada bagaimana siswa dapat belajar seefektif dan seoptimal mungkin dalam rangka mewujukan perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Efektivitas proses belajar menekankan pada suatu usaha yang akan melahirkan aktivitas belajar yang efektif. Belajar yang efektif pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas belajar yang optimal pada diri siswa (J. Mappiare, 1989; Hamalik, 1993; A. Suparman, 1996).

Dalam rangka menciptakan efektivitas proses belajar bagi siswa, guru diharapkan meminimalkan (mengurangi) metode ceramah, karena metode tersebut mengurangi terbentuknya kemanpuan dan kebiasaan berfikir kritis dan kreatif bagi siswa. Terciptanya kegiatan belajar yang efektif bagi siswa merupakan syarat mutlak diperolehnya hasil belajar yang optimal.

Penerapan strategi belajar mengajar yang menekankan pada keefektifan siswa dalam belajar, akan menyebabkan siswa dapat menggunakan seluruh kemanpuan dasar yang dimilikinya untuk melakukan berbagai kegiatan belajar yang dipersyaratkan. Berkaitan dengan itu, guru diharapkan dapat berfungsi :

a. Motivator, yakni merangsang dan memotivasi agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar yang dipersyaratkan.

b. Fasilitator, yakni mengarahkan dan mengupayakan kemudaha-kemudahan bagi siswa dalam belajar dalam rangka mewujudkan tujuan tujuan pengajaran; dan

c. Konselor, yakni senantiasa pembimbing siswa dalam melaksanakan serangkaian kegiatan belajar yang dipersyaratkan, sehingga siswa aedidni mungkin dapat terhindar dalam berbagai kesulitan-kesulitan yang mungkin ditemukan dalam proses belajarnya (A.Rohani dan A.Ahmadi, 1995).

Tangyong dkk (1985) mengemukakan bahwa proses belajar siswa aktif akan tercipta apabila :

a. Guru memberikan informasi dan masalah, diikuti dengan penegasan untuk memecahkannya.

b. Guru memberikan jawaban berdasarkan hasil pemikiran yang dikembangkan dari siswa; dan

c. Guru memberikan umpan balik atas berbagai tanggapan siswa.

Pada dasarnya mengajar merupakan sutu usaha menstimulasi dan membimbing siswa untuk mencapai perubahan tingkah laku yang seoptimal mungkin. Untuk tuntutan itu, guru harus dapat mengajar secara efektif bagi siswanya dalam arti guru harus secara intensif menstimuli. Slameto dalam (J. Mappiare, 1989) mengemukakan bahwa mengajar yang efektif itu adalah mengajar yang dapat membawa siswa belajar yang efektif artinya siswa beraktifitas mencari, menemukan, dan melihat pokok masalah serta berusaha memecahkannya.

Dengan demikian, mengajar yang efektif harus mampu membangkitkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Karena dengan partisipasi, siswa akan mengalami, menghayati dan menarik pelajaran dari pengalamannya itu, sehingga hasil belajar merupakan bagian dari dirinya, perasaannya, dan pemikirannya. Hasil belajar yang demikian akan lebih lestari disamping itu kreatifitas siswa lebih terbina dan dikembangkan (Thomas Gordon, 1990)

Pengajaran dari sudut Proses (by Procee), adalah suatu pengajaran dikategorikan efektif jika pengajara itu berlangsung secara interaktif yang dinamis sehingga memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensinya melalui kegiatan belajar berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan pengajaran dasri sudut hasil (by Product), adalah suatu pengajaran dikatakan efektif jika siswa dapat mewujudkan tujuan pengajaran baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya (Sujana, 1988; Uzer Usman, 1992).

Mengkaji kriteria tersebut diatas, menunjukkan bahwa pengajaran yang efektif menitikberatkan pada penciptaan aktivitas belajar siswa seoptimal mungkin. Guru harus selalu berusah menfasilitasi atau menciptakan kondisi yang kondusif agar siswa dapat belajar secara aktif atas kesadaran dan kemauannya sendiri.

Efektifitas pendidikan dan pengajaran sering diukur dengan tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pengertian ini mengandung pokok pikiran bahwa pendidikan dan pengajaran haruslah:

a. Bersistem (sistematis), yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran secara sistematis, mulai dari tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan.

b. Sensitif terhadap kebutuhanakan tugas belajar dan kebutuhan pembelajaran.

c. Jelas tujuannya dan kerena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya.

d. Bertolak dari kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan yakni; peserta didik, pendidik, masyarakat dan pemerintah (Sriyono, 1992; Sardiman AM, 1990; Mariso, 1988)

Bertolak dari penjelasan diatas maka penulis memahami bahwa, pemahaman akan pengertian dan pandangan mengajar akan banyak mempengaruhi peranan dan aktifitas guru dalam mengajar. Sebaliknya, aktifitas guru dalam mengajar serta aktifitas siswa dalam belajar sangat bergantung pula pada pemahaman guru terhadap mengajar. Mengajar bukan sekedar proses penyampaian ilmu pengetahuan, melainkan mengandung berbagai aspeknya yang cukup kompleks.

1 komentar: